Choice
Ia terengah.
Berlari tak tentu arah, hingga kemudian berhenti tepat didepan sebuah dinding
besar. Ia bisa mendengar suara auman dari tempatnya berdiri. Di ikuti dengan
jeritan yang semakin membuatnya tak ingin menoleh. Ia punya senjata. Sebilah pisau
perak yang ia genggam nyaris terlalu kencang.
Suara derap
langkah berat dan auman itu semakin mendekat. Instingnya berkata ia harus
kabur, tapi otaknya menyerah memikirkan tempat tujuan berikutnya. Semua tempat
telah ia datangi. Tiap sudut yang seharusnya tersembunyi dan tiap bangunan yang
seharusnya aman. Ia tak lagi punya tempat tujuan. Tidak ada lagi di dalam kota
berlapiskan tembok batu ini.
Melawan atau
lari?
Melawan lalu
mati, atau memanjat tembok ini dengan resiko terbunuh oleh jebakan yang
dipasang. Yang manapun berakhir sama. Dan jika ia harus memilih mati dikoyak
sang pemilik derap langkah atau mati terkoyak jebakan di tembok pembatas, ia
akan memilih cara mati yang paling cepat.
Ia berbalik.
Memegang pisau peraknya semakin keras. Menantikan derap langkah yang ia tahu
tidak jauh lagi jaraknya. Dan ketika kaki-kaki penuh darah itu tepat berada di
depannya, ia tak punya pilihan lagi selain maju.
.
.
Bulan malam
itu tidak lah penuh, dan ia bisa melihat beberapa bintang. Sebelum kemudian
angin datang dan menggelindingkan bola matanya hingga tak lagi melihat langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar