Jumat, 30 Juni 2017

my story "CHOICE"

Choice


Ia terengah. Berlari tak tentu arah, hingga kemudian berhenti tepat didepan sebuah dinding besar. Ia bisa mendengar suara auman dari tempatnya berdiri. Di ikuti dengan jeritan yang semakin membuatnya tak ingin menoleh. Ia punya senjata. Sebilah pisau perak yang ia genggam nyaris terlalu kencang.

Suara derap langkah berat dan auman itu semakin mendekat. Instingnya berkata ia harus kabur, tapi otaknya menyerah memikirkan tempat tujuan berikutnya. Semua tempat telah ia datangi. Tiap sudut yang seharusnya tersembunyi dan tiap bangunan yang seharusnya aman. Ia tak lagi punya tempat tujuan. Tidak ada lagi di dalam kota berlapiskan tembok batu ini.

Melawan atau lari?

Melawan lalu mati, atau memanjat tembok ini dengan resiko terbunuh oleh jebakan yang dipasang. Yang manapun berakhir sama. Dan jika ia harus memilih mati dikoyak sang pemilik derap langkah atau mati terkoyak jebakan di tembok pembatas, ia akan memilih cara mati yang paling cepat.

Ia berbalik. Memegang pisau peraknya semakin keras. Menantikan derap langkah yang ia tahu tidak jauh lagi jaraknya. Dan ketika kaki-kaki penuh darah itu tepat berada di depannya, ia tak punya pilihan lagi selain maju.

.
.

Bulan malam itu tidak lah penuh, dan ia bisa melihat beberapa bintang. Sebelum kemudian angin datang dan menggelindingkan bola matanya hingga tak lagi melihat langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar